Skip to main content
Pagi itu di lorong tengah pondokan tempat tinggalnya terlihat sepih. Pintu-pintu kamar berbaris rapih, tak satu pun yang terbuka. Tak biasanya begini. Sudah jam sepuluh kurang lima belas menit tepatnya dan tak seorangpun yang bangun.

Dari timur matahari dengan perkasa memancarkan sinar. Membelai tanah yang baru saja disiram hujan pagi tadi. Pancarkan bauh khas tanah yang menggairahkan. Tetapi pemandangan aneh di pondokan itu masih mengusik perhatian Rian yang sedari tadi duduk sambil menikmati secangkir kopi di teras rumahnya. Kebetulan saja, teras rumahnya berhadapan langsung dengan pondokan di depan, sehingga apa yang dilakukan di sana bisa ia saksikan dari rumahnya.

Dari luar, pondokan itu terlihat biasa saja. Tak ada yang berubah. Papan nama dengan tulisan "Pondok Barokah Khusus Putra" dengan cat hitam di papan masih berada pada posisi semula. Berdebuh, seakan tak ada yang merawat. Begitu juga dengan pintu pagar dengan gaya tahun 80-an, terlihat karatan di mana-mana. Beberapa sepeda motor yang biasanya terparkir di parkiran pondokan kini seakan raib entah ke mana. Hanya ada beberapa kucing yang tertidur malas di sana.

Ribuan pertanyaan menguap di kepala Rian. Pikirannya mencoba menerka apa yang terjadi di pondokannya. Ia lupakan sejenak kopi hitam di cangkir yang kini kehilangan panas. Wangi kopi Toraja yang biasanya membuat ia berasa seperti seorang filsuf muda di era kejayaan Yunani kini hilang. Pikirannya kini membuatnya lebih mirip detektiv bukan lagi filsuf.


Pondokan yang selalu ramai, nyaris dua puluh empat jam. Kini seakan hilang maknanya. Menjadi bangunan tua, dengan dinding kayu yang lapuk di beberapa sudut.

Rian tertegun karena penasaran lalu ia bangkit perlahan berjalan menuju pintu pagar pondokan sembari memperhatikan keadaan sekeliling mencoba menemukan sejumput informasi.

Pintu pagar itu terkunci dengan gembok besar. Di halaman sekitar juga tak ada bekas ban sepeda motor yang lewat. Keadaan ini sungguh menjadi kegilaan sekaligus rasa takut dan takjub yang mendalam. Bagaimana bisa hanya dalam waktu satu hari, puluhan orang bisa menghilang?.

Dia semakin penasaran, dan berharap ada tetangga di sekitarnya yang mau memberi informasi tentang hal itu. Akan tetapi sepertinya harapan itu sia-sia. sebab para tetangga yang di harapkan membawa informasi adalah orang yang jarang dirumah selalu sibuk dengan aktivitas dalam dunia kerja.

Merasa tak ada informasi yang ia dapatkan, ia lalu kembali ke ketempat semula diteras rumahnya dan duduk seperti semula. Ingatannya kembali kemasa lalu membayangkan, aktivitas dan kegaduhan pondokan yang telah menjadi bagian dari hidupnya kala itu. Dan mengingat kembali bagaimana pertama kali datang ke Makassar sebelas tahun silam.

Pondokan depan rumah beserta penghuninya adalah anomali di kompleks ia tinggal. Gambaran tentang kontrasnya kehidupan waktu kuliah dan setelahnya yang ia rasakan. Maka ketika mereka hilang, keresahan itu muncul. Masa lalunya kini hanya ia temui di kepalanya, bukan melalui indra yang selama ini ia saksikan.

Sambil menyeruput secangkir kopi, ia bergumam "Salahku sendiri. Tak mau berkenalan dengan penghuni pndokan yang lain," celetuknya kepada secangkir kopi hitam yang kini hilang kemagisannya.

Sambil menggaruk kepalanya ia tinggalkan kopi yang masih tersisah di atas meja. Kopi bukan lagi teman berpikir yang baik untuk kasus ini. Kopi kini hanya cairan hitam pekat di dalam cangkir kesayangannya. Maknanya telah hilang bersama penghuni pondokan sebelah.*


Demikianlah cerpen nostalgia yang hilang bersama secangkir kopi yang di tulis oleh Fidelis Sarwogebi Nylla. simak juga tentang artikrel kopi yang lain di blog tentang kopi ini terima kasih sudah menyimak, cerpen tentang kopi diatas.

You Might Also Like: